Marketplace – Berita Terkini Marketplace, Saham, Reksadana – CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia – Seorang tukang becak mendapatkan durian runtuh. Dari sebuah kupon Rp 1.000, dia mendapatkan hadiah senilai Rp 50 miliar.
Kupon undian itu adalah Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) yang dikeluarkan pemerintah sejak 1 Januari 1989. Program tersebut memperbolehkan masyarakat membeli kupon dari harga Rp1.000 hingga puluhan ribu untuk mendapatkan hadiah senilai miliaran rupiah.
Sementara uang undian yang dibeli masyarakat digunakan pemerintah, yakni sebagai modal untuk pembangunan Indonesia.
Salah satu yang terakhir adalah Sayat (72). Dia membeli kupon setiap minggunya sebagai cara melepas dirinya dari jerat kemiskinan.
Keajaiban baru terjadi pada Rabu 9 Mei 1990. Saat itu dia mendengarkan siaran radio yang mengumumkan pemenang SDSB. “Delapan, empat, sembilan, tiga, tujuh…. dan terakhir sembilan!,” ungkap si penyiar, dikutip harian Waspada (17 Mei 1990).
Ternyata semua nomor yang disebutkan penyiar itu cocok dengan kupon yang dia punya. Artinya dia memenangkan hadir senilai Rp 1 miliar.
Keesokan harinya, Sayat langsung melaporkan kemenangannya ke pihak terkait. Dengan cepat kota Magelang heboh dengan berita tukang becak mendadak jadi miliarder.
Uang Rp1 miliar pada 1990 merupakan nilai sangat besar. Sebagai perbandingan, jumlah itu di atas harga rumah kawasan Pondok, Jakarta, Indah saat itu yang mencapai Rp80 juta in step with unit.
Harga emas 34 tahun lalu juga hanya Rp20 ribu in step with gram. Artinya dengan uang yang dimilikinya Sayat bisa membeli 50 kg emas.
Jika dikonversikan melalui penyetaraan harga emas (1 gram= Rp 1juta), maka uang hadiah Rp 1 miliar bernilai Rp 50 miliar sekarang.
Sayat menyadari untuk tidak menghamburkan uang hadiah yang diserahkan oleh Sudomo yang kala itu menjabat sebagai Menteri Politik, Hukum dan HAM. Dia mengungkapkan rencananya kepada Waspada menaruh setengah hadiahnya di deposito dan sisanya untuk membeli rumah dan modal hidup anak-anaknya.
Dia juga memastikan tidak akan lagi ikut SDSB. Sayat memilih berfokus beribadah, membangun masjid, dan mengasuh anak cucu hingga akhir hayatnya.
Pemerintah akhirnya menghentikan SDSB pada 1993, jadi tidak ada lagi kisah seperti Sayat. Perlu dicatat pula untuk tidak menjadikannya sebagai contoh, sebab tidak ada bedanya dengan perjudian di masa sekarang.
(mkh/mkh)
Subsequent Article
Pembersih Bathroom Jadi Manusia Rp 1.790 T, Tetap Pegang Prinsip Ini