Marketplace – Berita Terkini Marketplace, Saham, Reksadana – CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia – Pertumbuhan kredit di Indonesia belum melesat meski kondisi likuiditas perbankan terbilang longgar. Situasi ini terjadi karena pelaku usaha masih bersikap wait and spot sebelum menarik kredit baru untuk ekspansi.
Ketua Umum Perbanas Hery Gunardi mengatakan, sepanjang 2025 likuiditas perbankan berada pada posisi yang sangat kuat. Hal ini tercermin dari rasio Mortgage to Deposit Ratio (LDR) industri yang terus turun.
Ia menjelaskan bahwa regulasi OJK dan Financial institution Indonesia menetapkan batas LDR di bawah 92%, sementara posisi industri saat ini berada di kisaran 84%.
“Artinya apa? Financial institution punya uang, financial institution punya likuiditas untuk ekspansi.Nah itu terjadi kenapa? Karena memang kita lihat belakangan ini pemerintah dan juga Financial institution Indonesia sangat aktif gitu, kita namakan pro-growth,” jelas Hery dalam Konferensi Pers Perbanas di Jakarta, Rabu, (10/12/2025).
Menurut Hery, kondisi likuiditas yang longgar ini juga dipengaruhi kebijakan pro-growth pemerintah dan Financial institution Indonesia. Salah satu bentuknya adalah relaksasi giro wajib minimal (GWM) yang memperluas kapasitas penyaluran kredit.
Ia menambahkan bahwa pada 2023 instrumen SRBI sempat menarik karena menawarkan imbal hasil tinggi dan bersaing dengan deposito financial institution. Namun, dengan likuiditas yang kini sangat considerable, financial institution dapat menurunkan price of fund dan menjadi lebih kompetitif dibandingkan tahun sebelumnya.
Di sisi lain, Hery mencatat bahwa nilai kredit yang belum dicairkan atau undisbursed mortgage masih relatif tinggi. Hal ini menunjukkan banyak debitur yang sudah memperoleh plafon kredit namun menunda pencairan karena menunggu momentum bisnis yang lebih pasti.
“Artinya apa? Artinya banyak para dibitur yang tadi sudah mendapatkan kredit atau pembiayaan dari financial institution dengan alasan tertentu mungkin wait and spot atau melihat peluang yang ada, masih menunggu untuk menarik dananya dalam hal melakukan ekspansi bisnis,” jelas Hery.
Faktor lain yang menahan penyerapan kredit adalah melemahnya daya beli masyarakat menengah ke bawah. Kondisi ini membuat permintaan kredit konsumsi tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Riset dan Kajian Ekonomi dan Perbankan Perbanas Aviliani menambahkan, 68% pelaku usaha menilai tiga stimulus positif dan memperkuat sektor riil. Ketiga stimulus tersebut adalah penempatan dana Rp200 triliun hingga penurunan suku bunga dan GWM oleh BI.
Namun, hanya 39% perusahaan yang menyatakan siap berinvestasi dalam waktu dekat. Hal ini menunjukkan sikap wait and spot masih dominan di kalangan pelaku usaha.
Selain itu, baru 36% perusahaan yang merasakan dampak positif dari kebijakan yang telah diberikan. Artinya, sekitar 60% pelaku usaha menilai kebijakan tersebut belum berdampak signifikan.
“Berarti masih ada 60% yang mengatakan tidak berdampak. Nah ini menunjukkan bahwa perlu kebijakan-kebijakan pemerintah yang membuat mereka lebih percaya lagi untuk melakukan ekspansi,” kata dia.
(ayh/ayh)
[Gambas:Video CNBC]
